A. Pengertian Hukuman, Disiplin dan Mandiri
Hukuman
adalah vonis dari pengadilan terhadap seseorang yang terbukti bersalah
(Purwadarminta, kamus umum bahasa Indonesia:1991). Pembentukan disiplin
diri merupakan suatu proses yang harus dimulai sejak masa kanak-kanak.
Oleh karena itu pendidikan disiplin pertama-tama sudah dimulai dari
keluarga (orang tua). Dalam kehidupan masyarakat secara umum, metode
yang paling sering digunakan untuk mendisiplinkan warganya adalah dengan
pemberian hukuman.
Hal
yang sama dilakukan juga oleh sebagian besar orang tua ataupun guru
dalam mendidik anak-anak atau muridnya. Kerugiannya adalah disiplin yang
tercipta merupakan disiplin jangka pendek, artinya anak hanya
menurutinya sebagai tuntutan sesaat, sehingga seringkali tidak tercipta
disiplin diri pada mereka. Hal tersebut disebabkan karena dengan hukuman
anak lebih banyak mengingat hal-hal negatif yang tidak boleh dilakukan,
daripada hal-hal positif yang seharusnya dilakukan.
Dampak
lain dari penggunaan hukuman adalah perasaan tidak nyaman pada anak
karena harus menanggung hukuman yang diberikan orang tuanya jika ia
melanggar batasan yang ditetapkan. Tidak mengherankan jika banyak anak
memiliki persepsi bahwa disiplin itu adalah identik dengan penderitaan.
Persepsi tersebut bukan hanya terjadi pada anak-anak tetapi juga
seringkali dialami oleh orang tua mereka. Akibatnya tidak sedikit orang
tua membiarkan anak-anak “bahagia” tanpa disiplin. Tentu saja hal ini
merupakan suatu kekeliruan besar, karena di masa-masa perkembangan
berikutnya maka individu tersebut akan mengalami berbagai masalah dan
kebingungan karena tidak mengenal aturan bagi dirinya sendiri.
Disiplin
adalah proses pelatihan pikiran dan karakter, yang meningkatkan
kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri, dan menumbuhkan ketaatan
atau kepatuhan terhadap tata tertib atau nilai tertentu (Andrias Harefa,
menjadi manusia pembelajar). Disiplin di sini dimaksudkan cara kita
mengajarkan kepada anak tentang perilaku moral yang dapat diterima
kelompok. Tujuan utamanya adalah memberitahu dan menanamkan pengertian
dalam diri anak tentang perilaku mana yang baik dan mana yang buruk, dan
untuk mendorongnya memiliki perilaku yang sesuai dengan standar ini.
Dalam disiplin, ada tiga unsur yang penting, yaitu hukum atau peraturan
yang berfungsi sebagai pedoman penilaian, sanksi atau hukuman bagi
pelanggaran peraturan itu, dan hadiah untuk perilaku atau usaha yang
baik (Dr. Martin Leman, disiplin anak:2000).
Mandiri
adalah suatu sikap dimana seseorang terbebas dari sifat ketergantungan
dari pihak luar. Berkenaan dengan sikap mandiri ini maka motivasi adalah
salah satu cara bagaimana membentuk seseorang bisa menjadai mandiri.
Dalam kegiatan belajar, motivasi sangat diperlukan, sebab seseorang yang
tidak mempunyai motivasi dalam belajar, tidak akan mungkin melakukan
aktivitas belajar.
Motivasi ada dua, yaitu motivasi Intrinsik dan motivasi ektrinsik.
1)
Motivasi Intrinsik. Jenis motivasi ini timbul dari dalam diri individu
sendiri tanpa ada paksaan dorongan orang lain, tetapi atas dasar kemauan
sendiri.
2)
Motivasi Ekstrinsik. Jenis motivasi ini timbul sebagai akibat pengaruh
dari luar individu, apakah karena adanya ajakan, suruhan, atau paksaan
dari orang lain sehingga dengan keadaan demikian siswa mau melakukan
sesuatu atau belajar.
B. Hal-Hal Yang Melatar Belakangi Adanya Hukuman Dan Ganjaran (Penghargaan)
Untuk
anak yang masih dalam usia pra sekolah, yang harus ditekankan adalah
aspek pendidikan dan pengertian dalam disiplin. Seorang anak yang masih
usia pra sekolah ini, diberi hukuman hanya kalau memang terbukti bahwa
ia sebenarnya mengerti apa yang diharapkan dan terlebih bila ia memang
sengaja melanggarnya. Sebaliknya bila saat ia berperilaku sosial yang
baik, ia diberikan hadiah, biasanya ini akan meningkatkan keinginannya
untuk lebih banyak belajar berperilaku yang baik.
Ada berbagai cara yang umum digunakan oleh orang tua untuk mendisiplinkan anak-anak dan remaja, antara lain :
1. Disiplin Otoriter
Disiplin
Otoriter adalah bentuk disiplin yang tradisional yang berdasar pada
ungkapan kuno “menghemat cambukan berarti memanjakan anak”. Pada model
disiplin ini, orang tua atau pengasuh memberikan anak
peraturan-peraturan dan anak harus mematuhinya. Tidak ada penjelasan
pada anak mengapa ia harus mematuhi, dan anak tidak diberi kesempatan
untuk mengemukakan pendapatnya tentang aturan itu. Anak harus mentaati
peraturan itu, jika tidak mau dihukum. Biasanya hukuman yang diberikan
pun agak kejam dan keras, karena dianggap merupakan cara terbaik agar
anak tidak melakukan pelanggaran lagi di kemudian hari. Seringkali anak
dianggap sudah benar-benar mengerti aturannya, dan ia dianggap sengaja
melanggarnya, sehingga anak tidak perlu diberi kesempatan mengemukakan
pendapatnya lagi. Jika anak melakukan sesuatu yang baik, hal ini juga
dianggap tidak perlu diberi hadiah lagi, karena sudah merupakan
kewajibannya. Pemberian hadiah malahan dipandang dapat mendorong anak
untuk selalu mengharapkan adanya sogokan agar melakukan sesuatu yang
diwajibkan masyarakat.
2. Disiplin yang lemah
Disiplin
model ini biasanya timbul dan berkembang sebagai kelanjutan dari
disiplin otoriter yang dialami orang dewasa saat ia anak-anak. Akibat
dahulu ia tidak suka diperlakukan dengan model disiplin yang otoriter,
maka ketika ia memiliki anak, di didiknya dengan cara yang sangat
berlawanan. Menurut teknik disiplin ini, anak akan belajar bagaimana
berperilaku dari setiap akibat perbuatannya itu sendiri. Dengan demikian
anak tidak perlu diajarkan aturan-aturan, ia tidak perlu dihukum bila
salah, namun juga tidak diberi hadiah bila berperilaku sosial yang baik.
Saat ini bentuk disiplin ini mulai ditinggalkan karena tidak mengandung
3 unsur penting disiplin.
3. Disiplin Demokratis
Disiplin
jenis ini, menekankan hak anak untuk mengetahui mengapa aturan-aturan
dibuat dan memperoleh kesempatan mengemukakan pendapatnya sendiri bila
ia menganggap bahwa peraturan itu tidak adil. Walaupun anak masih sangat
muda, tetapi daripadanya tidak diharapkan kepatuhan yang buta.
Diupayakan agar anak memang mengerti alasan adanya aturan-aturan itu,
dan mengapa ia diharapkan mematuhinya. Hukuman atas pelanggaran yang
dilakukan, disesuaikan dengan tingkat kesalahan, dan tidak lagi dengan
cara hukuman fisik. Sedangkan perilaku sosial yang baik dan sesuai
dengan harapan, dihargai terutama dengan pemberian pengakuan sosial dan
pujian.
Adapun
penerapan tipe-tipe disiplin ini memberi dampak yang cukup nyata
bedanya. Pengaruh penerapan disiplin ini pada anak, meliputi beberapa
aspek, misalnya :
1. Pengaruh pada perilaku
Anak
yang mengalami disiplin yang keras, otoriter, biasanya akan sangat
patuh bila dihadapan orang – orang dewasa, namun sangat agresif terhadap
teman sebayanya. Sedangkan anak yang orang tuanya lemah akan cenderung
mementingkan diri sendiri, tidak menghiraukan hak orang lain, agresif
dan tidak sosial. Anak yang dibesarkan dengan disiplin yang demokratis
akan lebih mampu belajar mengendalikan perilaku yang salah dan
mempertimbangkan hak-hak orang lain.
2. Pengaruh pada sikap
Baik
anak yang dibesarkan dengan cara disiplin otoriter maupun dengan cara
yang lemah, memiliki kecenderungan untuk membenci orang yang berkuasa.
Anak yang diperlakukan dengan cara otoriter merasa mendapat perlakuan
yang tidak adil. Sedangkan anak yang orang tuanya lemah merasa bahwa
orang tua seharusnya memberitahu bahwa tidak semua orang dewasa mau
menerima perilakunya. Disiplin yang demokratis akan menyebabkan
kemarahan sementara, tetapi kemarahan ini bukanlah kebencian.
Sikap-sikap yang terbentuk sebagai akibat dari metode pendidikan anak
cenderung menetap dan bersifat umum, tertuju kepada semua orang yang
berkuasa.
3. Pengaruh pada kepribadian
Semakin
banyak anak diberi hukuman fisik, semakin anak menjadi keras kepala dan
negativistik. Ini memberi dampak penyesuaian pribadi dan sosial yang
buruk, yang juga memberi ciri khas dari anak yang dibesarkan dengan
disiplin yang lemah. Bila anak dibesarkan dengan disiplin yang
demokratis, ia akan mampu memiliki penyesuaian pribadi dan penyesuaian
sosial yang terbaik.
Persepsi
yang sering keliru adalah pengertian istilah pemberian hadiah. Kadang
orang tua beranggapan bahwa memberikan hadiah selalu berupa memberi
mainan, permen, coklat, atau hadiah lain yang berupa benda. Sebenarnya
hadiah juga dapat berupa bukan benda, misalnya berupa pengakuan atau
pujian pada anak. Para orang tua yang menggunakan cara disiplin
demokratis, tidak mau banyak memberi hadiah berupa benda. Mereka
khawatir hal ini akan memanjakan anak atau takut cara ini dianggap
sebagai bentuk penyuapan yang merupakan teknik disiplin yang buruk.
Pelanggaran
berupa bentuk ringan dari ketidaktaatan pada aturan atau perbuatan yang
keliru sangat sering terjadi pada masa prasekolah. Pelanggaran ini
disebabkan oleh tiga hal. Pertama, ketidaktahuan anak bahwa perilakunya
itu tidak baik atau tidak dibenarkan. Anak mungkin saja sudah diberi
tahu berulang kali dan ia pun hafal kata-kata aturannya itu, tetapi ia
tidak mengerti konsep yang dikandung dari aturan itu, dan kapan ia harus
menerapkannya. Sebagai contoh, anak bisa mengerti bahwa mencuri adalah
tidak boleh, tetapi ia belum tentu tahu bahwa mencontek juga termasuk
mencuri.
Hal
kedua yang sering juga menjadi penyebab anak melanggar adalah anak
belajar bahwa sengaja tidak patuh dalam hal yang kecil-kecil umumnya
akan mendapatkan perhatian yang lebih besar daripada perilaku yang baik.
Jadi kadang anak yang merasa diabaikan, demi menarik perhatian orang
tuanya sengaja berbuat salah dengan harapan akan memperoleh perhatian
lebih. Dan ketiga, pelanggaran dapat disebabkan oleh kebosanan. Bila
anak tidak memiliki kegiatan untuk mengisi waktu luang, maka kadangkala
anak ingin membuat kehebohan. Atau kadang bisa juga ia hendak menguji
kekuasaan orang dewasa dengan melihat seberapa jauh ia dapat melakukan
sesuatu tanpa dihukum.
4. Anak yang lebih besar
Bagi
anak yang lebih besar, yang sudah masuk usia sekolah, disiplin berperan
penting dalam perkembangan moral. Disiplin bagi anak yang lebih besar
ini menjadi hal yang lebih serius lagi. Teknik disiplin yang pada usia
pra sekolah tampaknya efektif, tidak bisa dijalankan tetap dengan cara
yang sama terus menerus. Bagi anak yang sudah diusia sekolah ini,
disiplin yang diterapkan juga harus disesuaikan dengan tingkat
perkembangannya. Hal yang perlu lebih diperhatikan antara lain adalah :
Anak
yang lebih dewasa, semakin lama semakin membutuhkan penjelasan mengenai
mengapa hal tertentu tidak boleh dilakukan, dan mengapa hal lain baik
untuk dilakukan. Anak semakin mampu memahami konsep tentang perilaku
yang baik, dan wawasannya juga semakin meluas. Sebagai akibatnya,
tuntutan atas penjelasan berbagai hal semakin besar pula.
Pemberian
ganjaran seperti pujian atau perlakuan khusus bila anak melakukan
sesuatu yang baik, mempunyai nilai yang positif dalam mendorong anak
berusaha berbuat lebih baik lagi lain kali. Akan tetapi pemberian pujian
dan perlakuan istimewa pun harus disesuaikan dengan tingkat
perkembangan anak, jangan dari kecil hingga besar sama saja.
Pemberian
hukuman juga harus dilakukan sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Hukuman juga harus bersifat lebih mendidik, bukan malah menimbulkan
kebencian dan rasa dipermalukan. Hukuman yang diberikan harus
proporsional dengan tingkat pelanggaran, dan anak harus dibuat mengerti
mengapa hal yang dilakukan itu salah.
Konsistensi
dalam memberikan hukuman atau ganjaran pun penting. Untuk kesalahan
yang sama berikan hukuman yang sama, dan sebaliknya juga untuk hal yang
baik. Apa yang benar dan baik hari ini, akan tetap benar esok hari.
Jangan apa yang hari ini benar dan baik, besoknya menjadi hal yang
dianggap salah dan patut dihukum. ( Majalah ‘Anakku’ ed.4, thn 2000)
Ada
beberapa hal pokok yang dapat diacu sebagai dasar merespon setiap
perilaku dalam rangka pendidikan disiplin, diantaranya adalah sebagai
berikut :
a. Berkelanjutan
Pendidikan
merupakan suatu proses berkelanjutan, artinya disiplin tidak hanya
diberikan setelah anak masuk sekolah atau setelah masa remaja, tetapi
harus sudah dilatih sejak anak baru dilahirkan ke dunia ini. Sejak anak
membutuhkan kedekatan dengan orang dewasa, membutuhkan kasih sayang
orang dewasa. Orang tua dapat memulai mendidik disiplin dengan
menunjukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, mana yang baik dan
mana yang jelek. Sebagai contoh agar anak dapat disiplin dalam buang
air, maka orang tua harus secara berkelanjutan dan konsisten dalam
membersihkan dan mengganti pakaian sang bayi, ia di kenalkan pada
situasi yang menyenangkan dan tahu apa yang harus dilakukan dengan
semestinya sejak dini. Dengan perlakuan orang tua yang demikian akan
meringankan tugas pada masa berikutnya karena anaknya tidak akan
mengenal ngompol.
Selain
itu pendidikan disiplin tidak hanya ditekankan pada waktu anak membuat
perilaku yang tidak diinginkan atau pada waktu anak gagal mencapai
harapan orang tua. Perilaku-perilaku yang diinginkanpun perlu (meski
tidak harus terus-menerus), mendapatkan pengakuan, persetujuan atau
penghargaan. Jika anak sejak bayi telah dilatih untuk berdisiplin maka
pada masa remaja ia akan memiliki disiplin diri yang cukup sehigga akan
mampu menahan segala godaan yang datang dari teman maupun lingkungan
sekitarnya.
b. Autoritatif
Pendidikan
disiplin sebaiknya tidak dilakukan dengan cara yang terlalu otoriter,
tetapi juga tidak terlalu memperbolehkan semuanya (permisif). Cara yang
tepat dalam pendidikan disiplin bagi remaja disebut dengan istilah
moderatnya autoritatif : fleksibel, tetapi bila perlu tegas. Dalam
menerapkan cara disiplin yang permisif (dapat dikatakan sebagai mendidik
tanpa disiplin) cenderung menghasilkan anak remaja yang manja,
semena-mena, anti sosial dan cenderung agresif. Sebaliknya, disiplin
yang keras yang terutama dilakukan dengan memberikan hukuman fisik,
dapat menimbulkan berbagai pengaruh yang buruk bagi remaja.
Hal
ini dapat membuat remaja menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan
orang lain, dan membenci orang yang memberi hukuman, kehilangan
spontanitas serta inisiatif bahkan ada pula yang pada akhirnya
melampiaskan kemarahannya pada orang lain. Hubungan dengan lingkungan
sosial akan lebih berorientasi kepada kekuasaan dan ketakutan. Siapa
yang lebih berkuasa dapat berbuat sekehendak hatinya. Sedangkan yang
tidak berkuasa menjadi tunduk. Ada pula yang menimbulkan pembelotan, hal
ini terjadi terutama bila larangan-larangan yang bersangsi hukuman
tidak diimbangi dengan alternatif (cara) lain untuk memenuhi kebutuhan
yang mendasar. Contoh: remaja dilarang untuk keluar bermain, tetapi di
dalam rumah ia tidak melakukan apa-apa dan tidak diperhatikan oleh kedua
orang tuanya karena kesibukan mereka.
c. Beri Batas-Batas Yang Jelas
Batas-batas
tentang boleh atau tidak boleh haruslah jelas, misalnya kapan anak
boleh bermain, dimana dan dengan siapa sehingga anak tidak mengganggu
orang lain dan menghindarkan anak dari kecelakaan. Sejak masa
kanak-kanak orang tua harus sudah memberikan batasan-batasan tersebut.
Misalnya: anak boleh mengambarkan dengan pensil warna dikertas-kertas,
dipapan yang telah ditentukan, tetapi tidak boleh di buku pelajaran
kakaknya, buku ayah atau ibu, dan tidak boleh menggambar di tembok.
Penting
bagi orang tua untuk mengingat bahwa batasan dan fasilitas yang
diberikan oleh orang tua, hendaknya memenuhi kriteria tertentu:
diperlukan, masuk akal, diberikan dengan penuh ketulusan dan kebaikan
hati, dan secara konsisten sesuai kematangan anak. Fasilitas dianggap
diperlukan bila anak dapat mencapai kemajuan yang lebih baik jika adanya
fasilitas tersebut. Batas dan fasilitas dianggap masuk akal bila
memenuhi pertimbangan kesehatan dan keadilan. Kebaikan hati adalah
keinginan dalam memenuhi kebutuhan anak untuk berkembang seoptimal
mungkin tanpa melampaui kemampuan anak mengontrol diri. Fasilitas yang
konsisten dengan kematangan umum anak berarti tergantung pada
perkembangan kecerdasan dan kematangan anak. Makin berkembang kematangan
anak akan makin dapat diperluas batas-batas dan fasilitas. Dengan kata
lain pada remaja luasnya batas tersebut sangatlah ditentukan kematangan
yang telah dicapai oleh remaja tersebut.
d. Konsisten dan Fleksibel
Setelah
batas-batas ditentukan, maka orang tua harus mengupaya kesepakatan
dengan anaknya untuk saling mematuhi apa yang telah ditentukan. Walau
demikian, batas-batas yang ditentukan ini harus terus direvisi sesuai
dengan perkembangan anak dan anak telah mencapai remaja maka
penentuannya harus mengikut sertakan masukan dari remaja. Dengan cara
tersebut diharapkan dapat membantu remaja untuk lebih cepat
mengembangkan tanggung jawab atas disiplin diri.
Meski
batas-batas telah ditetukan ada kalanya keadaan memaksa dan batas
tersebut terpaksa dilanggar. Dalam kondisi ini orang tua perlu segera
memberitahu dan menjelaskan pada remaja bahwa keadaan tersebut dapat
dipahami dan diterima oleh orang tua namun bukan berarti bahwa batasan
yang telah ditentukan tidak berlaku lagi. Sikap dan komunikasi orang tua
semacam ini akan dapat mengurangi rasa berdosa, penyesalan bahkan rasa
sakit hati yang tidak diperlukan.
e. Menjelaskan Secara Lengkap
Terkadang
seorang anak berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan orang
tua dengan alasan karena ia tidak tahu. Untuk mengatasi hal tersebut
maka orang tua sangat perlu untuk mengupgrade diri sehingga mampu
menjelaskan secara lengkap apa yang boleh dilakukan atau tidak boleh
dilakukan, mengapa hal itu boleh/tidak, apa dampaknya jika
dilakukan/tidak dilakukan, dan sebagainya. Janganlah menganggap bahwa
anak selalu mempunyai pertimbangan sematang orang tua (meski harus
diakui ada remaja yang jauh lebih matang cara pandang/pikir dari orang
tuanya). Kesalahan yang seringkali dilakukan orang tua adalah terlalu
menganggap anaknya sudah mampu untuk mempertimbangkan segala sesuatu.
Apalagi pada masa remaja, sang anak cenderung terlihat sangat mandiri.
Banyak orang tua yang lupa bahwa anak remajanya masih membutuhkan
penjelasan dan bimbingan dari orang tua, meski mereka terlihat enggan
untuk mengakuinya. Dalam hal ini, justru orang tua lah yang seharusnya
segera sadar dan mempertimbangkan bahwa anaknya masih belum tahu dan
sesegera mungkin mengajarkan hal-hal tersebut kepada remaja tersebut.
Bukankah orang tua yang seharusnya lebih memahami anak-anaknya secara
rinci.
f. Berlatih
Orang
tua hendaknya mengarahkan anak untuk mengembangkan pola-pola kebiasaan
yang baik. Kebiasaan-kebiasaan baik tersebut harus sudah dilatih
terus-menerus sejak usia dini, misalnya anak dibiasakan mencuci tangan
sebelum dan sesudah makan, mematuhi jadwal belajar dan bermain, tidur
dan bangun pagi secara teratur, dan sebagainya. Hal ini perlu, sebab
setiap kebiasaan dan pola perilaku yang terbentuk pada masa kanak-kanak
akan banyak mempengaruhi kebiasaannya kelak ketika dia dewasa.
g. Hukuman
Hukuman
yang mendidik adalah hukuman yang menyadarkan pihak yang bersalah dalam
hal ini remaja, bahwa hal yang baru saja terjadi hendaknya tidak
diulangi karena hal tersebut tidak disetujui orang tua. Hukuman haruslah
dipandang sebagai bentuk pertanggungjawaban atas perbuatan yang
melanggar batasan-batasan yang ditetapkan. Hukuman tidak harus selalu
menyakitkan, dan jangan dijadikan sebagai luapan kemarahan atau
penyakuran emosi dari si penghukum (orang tua). Jika harus memberikan
hukuman, hukumlah anak sesuai dengan tingkat pemahaman anak tentang
hukuman tersebut. Hukuman yang terlalu berat akan mengakibatkan anak
mendendam, dan bila ia tidak dapat membalaskan dendamnya akan terjadi
pengalihan dalam bentuk kekerasan terhadap orang lain (tawuran) dan
vandalism (mis. Coret-coret, merusak properti orang lain). Penting
diperhatikan dalam pemberian hukuman adalah penjelasan mengapa anak
terpaksa dihukum, hukuman harus dilakukan segera setelah perilaku
terjadi, dan jangan melakukan hukuman fisik, seperti memukul atau
menampar, dan sebagainya terhadap anak-anak.
h. Komunikasi
Dalam
kenyataan sehari-hari, banyak masalah yang berhubungan dengan disiplin
sebenarnya dapat diselesaikan dengan menggunakan komunikasi timbal balik
yang efektif antara anak dan orang tua. Dalam hal ini cara-cara
berkomunikasi akan memegang peranan penting dalam pembentukan disiplin.
Komunikasi dalam bentuk sindiran, hinaan, merendahkan harga diri orang
lain hendaknya digunakan seminimal mungkin, bahkan harus dihindari sama
sekali. Anak dan remaja sangatlah peka terhadap hal ini, dan dapat sakit
hati karenanya. Jika cara-cara tersebut yang digunakan untuk
mendisiplinkan anak, cara-cara demikian akan cenderung ditiru dalam
hubungan interpersonal dengan orang-orang lain yang akibatnya dapat
merugikan diri sang anak maupun orang lain.
C. Peranan Guru dalam Membentuk Kedisiplinan
1. Pengertian Guru
Guru
adalah pendidik dan pengajar pada pendidikan anak usia dini jalur
sekolah atau pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah. Guru-guru seperti ini harus mempunyai semacam kualifikasi
formal. Dalam definisi yang lebih luas, setiap orang yang mengajarkan
suatu hal yang baru dapat juga dianggap seorang guru. Beberapa istilah
yang juga menggambarkan peran guru, antara lain: Dosen, Mentor dan
Tutor.
Dalam
bahasa Indonesia, guru umumnya merujuk pendidik profesional dengan
tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,
menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Menurut Zakiah Darajat (1992),
tidak sembarangan orang dapat melakukan tugas guru, tetapi orang-orang
tertentu yang memenuhi persyaratan berikut ini yang dipandang mampu :
bertakwa, berilmu, sehat jasmani, dan berkelakuan baik.
2. Peranan Guru dalam Pendidikan
WF
Connell (1972) membedakan tujuh peran seorang guru yaitu (1) pendidik
(nurturer), (2) model, (3) pengajar dan pembimbing, (4) pelajar
(learner), (5) komunikator terhadap masyarakat setempat, (6) pekerja
administrasi, serta (7) kesetiaan terhadap lembaga.
Peran
guru sebagai pendidik (nurturer) merupakan peran-peran yang berkaitan
dengan tugas-tugas memberi bantuan dan dorongan (supporter), tugas-tugas
pengawasan dan pembinaan (supervisor) serta tugas-tugas yang berkaitan
dengan mendisiplinkan anak agar anak itu menjadi patuh terhadap
aturan-aturan sekolah dan norma hidup dalam keluarga dan masyarakat.
Tugas-tugas ini berkaitan dengan meningkatkan pertumbuhan dan
perkembangan anak untuk memperoleh pengalaman-pengalaman lebih lanjut
seperti penggunaan kesehatan jasmani, bebas dari orang tua, dan orang
dewasa yang lain, moralitas tanggung jawab kemasyarakatan, pengetahuan
dan keterampilan dasar, persiapan.untuk perkawinan dan hidup
berkeluarga, pemilihan jabatan, dan hal-hal yang bersifat personal dan
spiritual. Oleh karena itu tugas guru dapat disebut pendidik dan
pemeliharaan anak. Guru sebagai penanggung jawab pendisiplinan anak
harus mengontrol setiap aktivitas anak-anak agar tingkah laku anak tidak
menyimpang dengan norma-norma yang ada.
Peran
guru sebagai model atau contoh bagi anak. Setiap anak mengharapkan guru
mereka dapat menjadi contoh atau model baginya. Oleh karena itu tingkah
laku pendidik baik guru, orang tua atau tokoh-tokoh masyarakat harus
sesuai dengan norma-norma yang dianut oleh masyarakat, bangsa dan
negara. Karena nilai-nilai dasar negara dan bangsa Indonesia adalah
Pancasila, maka tingkah laku pendidik harus selalu diresapi oleh
nilai-nilai Pancasila.
Peranan
guru sebagai pengajar dan pembimbing dalam pengalaman belajar. Setiap
guru harus memberikan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman lain di
luar fungsi sekolah seperti persiapan perkawinan dan kehidupan keluarga,
hasil belajar yang berupa tingkah laku pribadi dan spiritual dan
memilih pekerjaan di masyarakat, hasil belajar yang berkaitan dengan
tanggung jawab sosial tingkah laku sosial anak. Kurikulum harus berisi
hal-hal tersebut di atas sehingga anak memiliki pribadi yang sesuai
dengan nilai-nilai hidup yang dianut oleh bangsa dan negaranya,
mempunyai pengetahuan dan keterampilan dasar untuk hidup dalam
masyarakat dan pengetahuan untuk mengembangkan kemampuannya lebih
lanjut.
Peran
guru sebagai pelajar (leamer). Seorang guru dituntut untuk selalu
menambah pengetahuan dan keterampilan supaya pengetahuan dan
keterampilan yang dimilikinya tidak ketinggalan jaman. Pengetahuan dan
keterampilan yang dikuasai tidak hanya terbatas pada pengetahuan yang
berkaitan dengan pengembangan tugas profesional, tetapi juga tugas
kemasyarakatan maupun tugas kemanusiaan.
Peran
guru sebagai setiawan dalam lembaga pendidikan. Seorang guru diharapkan
dapat membantu kawannya yang memerlukan bantuan dalam mengembangkan
kemampuannya. Bantuan dapat secara langsung melalui pertemuan-pertemuan
resmi maupun pertemuan insidental.
Peranan
guru sebagai komunikator pembangunan masyarakat. Seorang guru
diharapkan dapat berperan aktif dalam pembangunan di segala bidang yang
sedang dilakukan. Ia dapat mengembangkan kemampuannya pada bidang-bidang
dikuasainya.
Guru
sebagai administrator. Seorang guru tidak hanya sebagai pendidik dan
pengajar, tetapi juga sebagai administrator pada bidang pendidikan dan
pengajaran. Oleh karena itu seorang guru dituntut bekerja secara
administrasi teratur. Segala pelaksanaan dalam kaitannya proses belajar
mengajar perlu diadministrasikan secara baik. Sebab administrasi yang
dikerjakan seperti membuat rencana mengajar, mencatat hasil belajar dan
sebagainya merupakan dokumen yang berharga bahwa ia telah melaksanakan
tugasnya dengan baik.
Efektivitas
dan efisien belajar individu di sekolah sangat bergantung kepada peran
guru. Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan bahwa dalam pengertian
pendidikan secara luas, seorang guru yang ideal seyogyanya dapat
berperan sebagai :
1) Konservator (pemelihara) sistem nilai yang merupakan sumber norma kedewasaan;
2) Inovator (pengembang) sistem nilai ilmu pengetahuan;
3) Transmitor (penerus) sistem-sistem nilai tersebut kepada peserta didik;
4)
Transformator (penterjemah) sistem-sistem nilai tersebut melalui
penjelmaan dalam pribadinya dan perilakunya, dalam proses interaksi
dengan sasaran didik;
5)
Organisator (penyelenggara) terciptanya proses edukatif yang dapat
dipertanggungjawabkan, baik secara formal (kepada pihak yang mengangkat
dan menugaskannya) maupun secara moral (kepada sasaran didik, serta
Tuhan yang menciptakannya).
Sedangkan
dalam pengertian pendidikan yang terbatas, Abin Syamsuddin dengan
mengutip pemikiran Gage dan Berliner, mengemukakan peran guru dalam
proses pembelajaran peserta didik, yang mencakup :
1)
Guru sebagai perencana (planner) yang harus mempersiapkan apa yang akan
dilakukan di dalam proses belajar mengajar (pre-teaching problems).;
2)
Guru sebagai pelaksana (organizer), yang harus dapat menciptakan
situasi, memimpin, merangsang, menggerakkan, dan mengarahkan kegiatan
belajar mengajar sesuai dengan rencana, di mana ia bertindak sebagai
orang sumber (resource person), konsultan kepemimpinan yang bijaksana
dalam arti demokratik dan humanistik (manusiawi) selama proses
berlangsung (during teaching problems).
3)
Guru sebagai penilai (evaluator) yang harus mengumpulkan, menganalisa,
menafsirkan dan akhirnya harus memberikan pertimbangan (judgement), atas
tingkat keberhasilan proses pembelajaran, berdasarkan kriteria yang
ditetapkan, baik mengenai aspek keefektifan prosesnya maupun kualifikasi
produknya.
Selanjutnya
dalam konteks proses belajar mengajar di Indonesia, Abin Syamsuddin
menambahkan satu peran lagi yaitu sebagai pembimbing (teacher counsel),
di mana guru dituntut untuk mampu mengidentifikasi peserta didik yang
diduga mengalami kesulitan dalam belajar, melakukan diagnosa, prognosa,
dan kalau masih dalam batas kewenangannya, harus membantu pemecahannya
(remedial teaching).
Di
lain pihak, Moh. Surya (1997) mengemukakan tentang peranan guru di
sekolah, keluarga dan masyarakat. Di sekolah, guru berperan sebagai
perancang pembelajaran, pengelola pembelajaran, penilai hasil
pembelajaran peserta didik, pengarah pembelajaran dan pembimbing peserta
didik. Sedangkan dalam keluarga, guru berperan sebagai pendidik dalam
keluarga (family educator). Sementara itu di masyarakat, guru berperan
sebagai pembina masyarakat (social developer), penemu masyarakat (social
inovator), dan agen masyarakat (social agent).
Lebih
jauh, dikemukakan pula tentang peranan guru yang berhubungan dengan
aktivitas pengajaran dan administrasi pendidikan, diri pribadi (self
oriented), dan dari sudut pandang psikologis.
Dalam hubungannya dengan aktivitas pembelajaran dan administrasi pendidikan, guru berperan sebagai :
1) Pengambil inisiatif, pengarah, dan penilai pendidikan;
2) Wakil masyarakat di sekolah, artinya guru berperan sebagai pembawa suara dan kepentingan masyarakat dalam pendidikan;
3) Seorang pakar dalam bidangnya, yaitu menguasai bahan yang harus diajarkannya;
4) Penegak disiplin, yaitu guru harus menjaga agar para peserta didik melaksanakan disiplin;
5) Pelaksana administrasi pendidikan, yaitu guru bertanggung jawab agar pendidikan dapat berlangsung dengan baik;
6)
Pemimpin generasi muda, artinya guru bertanggung jawab untuk
mengarahkan perkembangan peserta didik sebagai generasi muda yang akan
menjadi pewaris masa depan; dan
7)
Penterjemah kepada masyarakat, yaitu guru berperan untuk menyampaikan
berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat.
Di pandang dari segi diri-pribadinya (self oriented), seorang guru berperan sebagai :
1) Pekerja sosial (social worker), yaitu seorang yang harus memberikan pelayanan kepada masyarakat;
2)
Pelajar dan ilmuwan, yaitu seorang yang harus senantiasa belajar secara
terus menerus untuk mengembangkan penguasaan keilmuannya;
3) Orang tua, artinya guru adalah wakil orang tua peserta didik bagi setiap peserta didik di sekolah;
4) model keteladanan, artinya guru adalah model perilaku yang harus dicontoh oleh para peserta didik; dan
5) Pemberi keselamatan bagi setiap peserta didik. Peserta didik diharapkan akan merasa aman berada dalam didikan gurunya.
Dari sudut pandang secara psikologis, guru berperan sebagai :
1)
Pakar psikologi pendidikan, artinya guru merupakan seorang yang
memahami psikologi pendidikan dan mampu mengamalkannya dalam
melaksanakan tugasnya sebagai pendidik;
2)
Seniman dalam hubungan antar manusia (artist in human relations),
artinya guru adalah orang yang memiliki kemampuan menciptakan suasana
hubungan antar manusia, khususnya dengan para peserta didik sehingga
dapat mencapai tujuan pendidikan;
3)
Pembentuk kelompok (group builder), yaitu mampu mambentuk menciptakan
kelompok dan aktivitasnya sebagai cara untuk mencapai tujuan pendidikan;
4)
Catalyc agent atau inovator, yaitu guru merupakan orang yang mampu
menciptakan suatu pembaharuan bagi membuat suatu hal yang baik; dan
5)
Petugas kesehatan mental (mental hygiene worker), artinya guru
bertanggung jawab bagi terciptanya kesehatan mental para peserta didik.
Sementara
itu, Doyle sebagaimana dikutip oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukan
dua peran utama guru dalam pembelajaran yaitu menciptakan keteraturan
(establishing order) dan memfasilitasi proses belajar (facilitating
learning). Yang dimaksud keteraturan di sini mencakup hal-hal yang
terkait langsung atau tidak langsung dengan proses pembelajaran, seperti
: tata letak tempat duduk, disiplin peserta didik di kelas, interaksi
peserta didik dengan sesamanya, interaksi peserta didik dengan guru, jam
masuk dan keluar untuk setiap sesi mata pelajaran, pengelolaan sumber
belajar, pengelolaan bahan belajar, prosedur dan sistem yang mendukung
proses pembelajaran, lingkungan belajar, dan lain-lain.
Sejalan
dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada
masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk
senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian kemampuan
profesionalnya. Guru harus harus lebih dinamis dan kreatif dalam
mengembangkan proses pembelajaran peserta didik. Guru di masa mendatang
tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang paling well informed terhadap
berbagai informasi dan pengetahuan yang sedang tumbuh, berkembang,
berinteraksi dengan manusia di jagat raya ini. Di masa depan, guru bukan
satu-satunya orang yang lebih pandai di tengah-tengah peserta didiknya.
Jika
guru tidak memahami mekanisme dan pola penyebaran informasi yang
demikian cepat, ia akan terpuruk secara profesional. Kalau hal ini
terjadi, ia akan kehilangan kepercayaan baik dari peserta didik, orang
tua maupun masyarakat. Untuk menghadapi tantangan profesionalitas
tersebut, guru perlu berfikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya,
guru harus melakukan pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya
secara terus menerus. Disamping itu, guru masa depan harus paham
penelitian guna mendukung terhadap efektivitas pengajaran yang
dilaksanakannya, sehingga dengan dukungan hasil penelitian guru tidak
terjebak pada praktek pengajaran yang menurut asumsi mereka sudah
efektif, namum kenyataannya justru mematikan kreativitas para peserta
didiknya. Begitu juga, dengan dukungan hasil penelitian yang mutakhir
memungkinkan guru untuk melakukan pengajaran yang bervariasi dari tahun
ke tahun, disesuaikan dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang sedang berlangsung.
3. Fungsi Guru dalam Membentuk Kedisiplinan Siswa
Daoed
Yoesoef (1980) menyatakan bahwa seorang guru mempunyai tiga tugas pokok
yaitu tugas profesional, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan
(sivic mission). Jika dikaitkan pembahasan tentang kebudayaan, maka
tugas pertama berkaitan dengar logika dan estetika, tugas kedua dan
ketiga berkaitan dengan etika.
Tugas-tugas
profesional dari seorang guru yaitu meneruskan atau transmisi ilmu
pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai lain yang sejenis yang belum
diketahui anak dan seharusnya diketahui oleh anak.
Tugas
manusiawi adalah tugas-tugas membantu anak didik agar dapat memenuhi
tugas-tugas utama dan manusia kelak dengan sebaik-baiknya. Tugas-tugas
manusiawi itu adalah transformasi diri, identifikasi diri sendiri dan
pengertian tentang diri sendiri.
Usaha
membantu kearah ini seharusnya diberikan dalam rangka pengertian bahwa
manusia hidup dalam satu unit organik dalam keseluruhan integralitasnya
seperti yang telah digambarkan di atas. Hal ini berarti bahwa tugas
pertama dan kedua harus dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu. Guru
seharusnya dengan melalui pendidikan mampu membantu anak didik untuk
mengembangkan daya berpikir atau penalaran sedemikian rupa sehingga
mampu untuk turut serta secara kreatif dalam proses transformasi
kebudayaan ke arah keadaban demi perbaikan hidupnya sendiri dan
kehidupan seluruh masyarakat di mana dia hidup.
Tugas
kemasyarakatan merupakan konsekuensi guru sebagai warga negara yang
baik, turut mengemban dan melaksanakan apa-apa yang telah digariskan
oleh bangsa dan negara lewat UUD 1945 dan GBHN.
Ketiga
tugas guru itu harus dilaksanakan secara bersama-sama dalam kesatuan
organis harmonis dan dinamis. Seorang guru tidak hanya mengajar di dalam
kelas saja tetapi seorang guru harus mampu menjadi katalisator,
motivator dan dinamisator pembangunan tempat di mana ia bertempat
tinggal. Ketiga tugas ini jika dipandang dari segi anak didik maka guru
harus memberikan nilai-nilai yang berisi pengetahuan masa lalu, masa
sekarang dan masa yang akan datang, pilihan nilai hidup dan
praktek-praktek komunikasi. Pengetahuan yang kita berikan kepada anak
didik harus mampu membuat anak didik itu pada akhimya mampu memilih
nilai-nilai hidup yang semakin komplek dan harus mampu membuat anak
didik berkomunikasi dengan sesamanya di dalam masyarakat, oleh karena
anak didik ini tidak akan hidup mengasingkan diri. Kita mengetahui cara
manusia berkomunikasi dengan orang lain tidak hanya melalui bahasa
tetapi dapat juga melalui gerak, berupa tari-tarian, melalui suara
(lagu, nyanyian), dapat melalui warna dan garis-garis (lukisan-lukisan),
melalui bentuk berupa ukiran, atau melalui simbul-simbul dan
tanda-tanda yang biasanya disebut rumus-rumus.
Jadi
nilai-nilai yang diteruskan oleh guru atau tenaga kependidikan dalam
rangka melaksanakan tugasnya, tugas profesional, tugas manusiawi, dan
tugas kemasyarakatan, apabila diutarakan sekaligus merupakan
pengetahuan, pilihan hidup dan praktek komunikasi. Jadi walaupun
pengutaraannya berbeda namanya, oleh karena dipandang dari sudut guru
dan dan sudut siswa, namun yang diberikan itu adalah nilai yang sama,
maka pendidikan tenaga kependidikan pada umumnya dan guru pada khususnya
sebagai pembinaan prajabatan, bertitik berat sekaligus dan sama
beratnya pada tiga hal, yaitu melatih mahasiswa, calon guru atau calon
tenaga kependidikan untuk mampu menjadi guru atau tenaga kependidikan
yang baik, khususnya dalam hal ini untuk mampu bagi yang bersangkutan
untuk melaksanakan tugas professional.
D. Beberapa Bentuk Pola Sikap Siswa dalam Belajar
Belajar
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dan berperan penting
dalam pembentukan pribadi dan perilaku individu. Nana Syaodih
Sukmadinata (2005) menyebutkan bahwa sebagian terbesar perkembangan
individu berlangsung melalui kegiatan belajar. Lantas, apa sesungguhnya
belajar itu ?
Sebelum
membahas tentang pola sikap siswa dalam belajar alangkah lebih baik
kita mengenal dulu apa itu belajar. Di bawah ini disampaikan tentang
pengertian belajar dari para ahli :
1)
Moh. Surya (1997) : “belajar dapat diartikan sebagai suatu proses yang
dilakukan oleh individu untuk memperoleh perubahan perilaku baru secara
keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam
berinteraksi dengan lingkungannya”.
2)
Witherington (1952) : “belajar merupakan perubahan dalam kepribadian
yang dimanifestasikan sebagai pola-pola respons yang baru berbentuk
keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan dan kecakapan”.
3) Crow & Crow dan (195 : “ belajar adalah diperolehnya kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan dan sikap baru”.
4)
Hilgard (1962) : “belajar adalah proses dimana suatu perilaku muncul
perilaku muncul atau berubah karena adanya respons terhadap sesuatu
situasi”
5) Di Vesta dan Thompson (1970) : “ belajar adalah perubahan perilaku yang relatif menetap sebagai hasil dari pengalaman”.
6) Gage & Berliner : “belajar adalah suatu proses perubahan perilaku yang yang muncul karena pengalaman”
Dari
beberapa pengertian belajar tersebut diatas, kata kunci dari belajar
adalah perubahan perilaku. Dalam hal ini, Moh Surya (1997) mengemukakan
ciri-ciri dari perubahan perilaku, yaitu :
1) Perubahan yang disadari dan disengaja (intensional).
Perubahan
perilaku yang terjadi merupakan usaha sadar dan disengaja dari individu
yang bersangkutan. Begitu juga dengan hasil-hasilnya, individu yang
bersangkutan menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan,
misalnya pengetahuannya semakin bertambah atau keterampilannya semakin
meningkat, dibandingkan sebelum dia mengikuti suatu proses belajar.
Misalnya, seorang mahasiswa sedang belajar tentang psikologi pendidikan.
Dia menyadari bahwa dia sedang berusaha mempelajari tentang Psikologi
Pendidikan. Begitu juga, setelah belajar Psikologi Pendidikan dia
menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan perilaku, dengan
memperoleh sejumlah pengetahuan, sikap dan keterampilan yang berhubungan
dengan Psikologi Pendidikan.
2) Perubahan yang berkesinambungan (kontinyu).
Bertambahnya
pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki pada dasarnya merupakan
kelanjutan dari pengetahuan dan keterampilan yang telah diperoleh
sebelumnya. Begitu juga, pengetahuan, sikap dan keterampilan yang telah
diperoleh itu, akan menjadi dasar bagi pengembangan pengetahuan, sikap
dan keterampilan berikutnya. Misalnya, seorang mahasiswa telah belajar
Psikologi Pendidikan tentang “Hakekat Belajar”. Ketika dia mengikuti
perkuliahan “Strategi Belajar Mengajar”, maka pengetahuan, sikap dan
keterampilannya tentang “Hakekat Belajar” akan dilanjutkan dan dapat
dimanfaatkan dalam mengikuti perkuliahan “Strategi Belajar Mengajar”.
3) Perubahan yang fungsional.
Setiap
perubahan perilaku yang terjadi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
hidup individu yang bersangkutan, baik untuk kepentingan masa sekarang
maupun masa mendatang. Contoh : seorang mahasiswa belajar tentang
psikologi pendidikan, maka pengetahuan dan keterampilannya dalam
psikologi pendidikan dapat dimanfaatkan untuk mempelajari dan
mengembangkan perilaku dirinya sendiri maupun mempelajari dan
mengembangkan perilaku para peserta didiknya kelak ketika dia menjadi
guru.
4) Perubahan yang bersifat positif.
Perubahan
perilaku yang terjadi bersifat normatif dan menujukkan ke arah
kemajuan. Misalnya, seorang mahasiswa sebelum belajar tentang Psikologi
Pendidikan menganggap bahwa dalam dalam Proses Belajar Mengajar tidak
perlu mempertimbangkan perbedaan-perbedaan individual atau perkembangan
perilaku dan pribadi peserta didiknya, namun setelah mengikuti
pembelajaran Psikologi Pendidikan, dia memahami dan berkeinginan untuk
menerapkan prinsip – prinsip perbedaan individual maupun prinsip-prinsip
perkembangan individu jika dia kelak menjadi guru.
5) Perubahan yang bersifat aktif.
Untuk
memperoleh perilaku baru, individu yang bersangkutan aktif berupaya
melakukan perubahan. Misalnya, mahasiswa ingin memperoleh pengetahuan
baru tentang psikologi pendidikan, maka mahasiswa tersebut aktif
melakukan kegiatan membaca dan mengkaji buku-buku psikologi pendidikan,
berdiskusi dengan teman tentang psikologi pendidikan dan sebagainya.
6) Perubahan yang bersifat permanen.
Perubahan
perilaku yang diperoleh dari proses belajar cenderung menetap dan
menjadi bagian yang melekat dalam dirinya. Misalnya, mahasiswa belajar
mengoperasikan komputer, maka penguasaan keterampilan mengoperasikan
komputer tersebut akan menetap dan melekat dalam diri mahasiswa
tersebut.
7) Perubahan yang bertujuan dan terarah.
Individu
melakukan kegiatan belajar pasti ada tujuan yang ingin dicapai, baik
tujuan jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Misalnya,
seorang mahasiswa belajar psikologi pendidikan, tujuan yang ingin
dicapai dalam panjang pendek mungkin dia ingin memperoleh pengetahuan,
sikap dan keterampilan tentang psikologi pendidikan yang diwujudkan
dalam bentuk kelulusan dengan memperoleh nilai A. Sedangkan tujuan
jangka panjangnya dia ingin menjadi guru yang efektif dengan memiliki
kompetensi yang memadai tentang Psikologi Pendidikan. Berbagai aktivitas
dilakukan dan diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
8) Perubahan perilaku secara keseluruhan.
Perubahan
perilaku belajar bukan hanya sekedar memperoleh pengetahuan semata,
tetapi termasuk memperoleh pula perubahan dalam sikap dan
keterampilannya. Misalnya, mahasiswa belajar tentang “Teori-Teori
Belajar”, disamping memperoleh informasi atau pengetahuan tentang
“Teori-Teori Belajar”, dia juga memperoleh sikap tentang pentingnya
seorang guru menguasai “Teori-Teori Belajar”. Begitu juga, dia
memperoleh keterampilan dalam menerapkan “Teori-Teori Belajar”.
Menurut Gagne (Abin Syamsuddin Makmun, 2003), perubahan perilaku yang merupakan hasil belajar dapat berbentuk :
1)
Informasi verbal; yaitu penguasaan informasi dalam bentuk verbal, baik
secara tertulis maupun tulisan, misalnya pemberian nama-nama terhadap
suatu benda, definisi, dan sebagainya.
2)
Kecakapan intelektual; yaitu keterampilan individu dalam melakukan
interaksi dengan lingkungannya dengan menggunakan simbol-simbol,
misalnya: penggunaan simbol matematika. Termasuk dalam keterampilan
intelektual adalah kecakapan dalam membedakan (discrimination), memahami
konsep konkrit, konsep abstrak, aturan dan hukum. Ketrampilan ini
sangat dibutuhkan dalam menghadapi pemecahan masalah.
3)
Strategi kognitif; kecakapan individu untuk melakukan pengendalian dan
pengelolaan keseluruhan aktivitasnya. Dalam konteks proses pembelajaran,
strategi kognitif yaitu kemampuan mengendalikan ingatan dan cara – cara
berfikir agar terjadi aktivitas yang efektif. Kecakapan intelektual
menitikberatkan pada hasil pembelajaran, sedangkan strategi kognitif
lebih menekankan pada pada proses pemikiran.
4)
Sikap; yaitu hasil pembelajaran yang berupa kecakapan individu untuk
memilih macam tindakan yang akan dilakukan. Dengan kata lain. Sikap
adalah keadaan dalam diri individu yang akan memberikan kecenderungan
bertindak dalam menghadapi suatu obyek atau peristiwa, didalamnya
terdapat unsur pemikiran, perasaan yang menyertai pemikiran dan kesiapan
untuk bertindak.
5) Kecakapan motorik; ialah hasil belajar yang berupa kecakapan pergerakan yang dikontrol oleh otot dan fisik.
Sementara itu, Moh. Surya (1997) mengemukakan bahwa hasil belajar akan tampak dalam :
1)
Kebiasaan; seperti : peserta didik belajar bahasa berkali-kali
menghindari kecenderungan penggunaan kata atau struktur yang keliru,
sehingga akhirnya ia terbiasa dengan penggunaan bahasa secara baik dan
benar.
2)
Keterampilan; seperti : menulis dan berolah raga yang meskipun sifatnya
motorik, keterampilan-keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang
teliti dan kesadaran yang tinggi.
3)
Pengamatan; yakni proses menerima, menafsirkan, dan memberi arti
rangsangan yang masuk melalui indera-indera secara obyektif sehingga
peserta didik mampu mencapai pengertian yang benar.
4) Berfikir asosiatif; yakni berfikir dengan cara mengasosiasikan sesuatu dengan lainnya dengan menggunakan daya ingat.
5)
Berfikir rasional dan kritis yakni menggunakan prinsip-prinsip dan
dasar-dasar pengertian dalam menjawab pertanyaan kritis seperti
“bagaimana” (how) dan “mengapa” (why).
6)
Sikap yakni kecenderungan yang relatif menetap untuk bereaksi dengan
cara baik atau buruk terhadap orang atau barang tertentu sesuai dengan
pengetahuan dan keyakinan.
7) Inhibisi (menghindari hal yang mubazir).
8) Apresiasi (menghargai karya-karya bermutu.
9)
Perilaku afektif yakni perilaku yang bersangkutan dengan perasaan
takut, marah, sedih, gembira, kecewa, senang, benci, was-was dan
sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar